Pasang Iklan di Buletinkompas.com

Kesuksesan Prabowo dan Peningkatan Loyalitas Politik Berbasis Misi

Kemenangan satu putaran Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dalam Pilpres 2024 lalu telah diterima oleh banyak pihak, tetapi mereka juga tidak percaya. Para pengamat telah berusaha untuk menjelaskan fenomena tersebut dari berbagai sudut pandang.

Tulisan ini mencoba memasukkan kemenangan dari sudut pandang kesetiaan atau loyalitas politik untuk meramaikan diskusi saat ini. Pergeseran arah politik: Secara teoretis, partai politik dalam suatu negara bertanggung jawab atas kesuksesannya. Partai-partai ini sebagian besar bergantung pada kesetiaan yang luar biasa dari anggota atau kadernya.

Kesetiaan ini menentukan keberlanjutan dan kesuksesan mereka (Muirhead, 2013). Tetapi bekerja di bidang politik tampaknya penuh dengan ketidakpastian. Dalam politik, insentif dan kompensasi seringkali tidak memadai dan tanpa gaji tetap.

Oleh karena itu, ketahanan mental dan kesetiaan sangat penting untuk berhasil dalam politik. Sebaliknya, pergeseran arah dan pilihan politik di Indonesia menjadi semakin umum di kalangan politisi dan partai politik. Fenomena ini semakin terlihat menjelang pemilu 2024 lalu, setidaknya pada dua tingkat, yaitu institusi dan individu.

Di tingkat institusi, berbagai koalisi politik hancur, terutama ketika berbagai partai mengubah pilihan politik mereka. Pada awalnya bersatu, Golkar dan PPP akhirnya bercerai. Selain itu, Gerindra dan PKB sekarang berada dalam koalisi yang berbeda, meskipun sebelumnya mereka hampir tidak terpisahkan. Pada awalnya, PSI mendukung Ganjar Pranowo, tetapi sekarang beralih mendukung Prabowo. Pada tingkat pribadi, dinamikanya tidak kalah sengit. Anies Baswedan sekarang berafiliasi dengan Partai Nasdem, berbeda dengan masa lalunya di Partai Gerindra.

Baca Juga : 7 PPLN Kuala Lumpur Dinonaktifkan, PSU Menjadi KPU Republik Indonesia

Akhirnya, anggota PDIP yang terkenal setia seperti Budiman Sudjatmiko dan Maruarar Sirait meninggalkan partainya. Tokoh politik terkemuka dari Partai Golkar Meskipun partainya mendukung penuh Prabowo, Jusuf Kalla memilih untuk mendukung Anies.

Paling mencolok, Presiden Joko Widodo, yang pada awalnya dikabarkan mendukung Ganjar, pada akhirnya beralih untuk mendukung Prabowo. Jika kesetiaan politik adalah kunci keberhasilan pembangunan negara, ketidaksepakatan antara berbagai entitas politik di atas tampaknya tidak masuk akal.

Mereka secara terang-terangan melanggar perjanjian politik dan komitmen mereka sebelumnya. Namun, fleksibilitas tampaknya menjadi preferensi orang dan lembaga politik di era modern.

Akses luas terhadap pengetahuan dan informasi telah mengubah kesetiaan politik, atau setidaknya mengubah definisinya. Artinya, saat ini tampaknya tidak ada partai politik tertentu yang dapat mengontrol atau mengontrol aspirasi untuk membangun negara. Selain itu, berbagai hasil riset dan pilihan kebijakan sekarang mudah diakses dan dipahami.

Organisasi politik mungkin menganggap mengubah pilihan politik lebih masuk akal daripada tetap pada satu pilihan. Apalagi jika salah satu opsi dianggap tidak efektif atau korup. Sepertinya pandangan ini saat ini yang paling populer di Indonesia: setiap orang yang ingin membangun bangsa dapat memilih partai apa pun.

Ini memungkinkan orang, misalnya, menjadi wali kota melalui Partai X, kemudian menjadi gubernur melalui Partai Y, dan akhirnya mencalonkan diri sebagai presiden melalui Partai Z. Perjalanan yang dilakukan oleh Gibran dan Anies Baswedan sangat terkait dengan proses ini.

Ini juga dapat menyebabkan Presiden Jokowi mengubah dukungannya untuk Prabowo, yang dianggap penting oleh banyak pengamat untuk kemenangan Prabowo. Kesetiaan berbasis misi: Banyak orang percaya bahwa tindakan presiden yang terakhir di atas lebih merupakan tindakan impulsif.untuk melindungi dinasti politiknya. Argumentasi ini mungkin benar.

Namun, fakta bahwa Presiden Jokowi memilih Prabowo dengan Partai Gerindra, yang telah “mencela” dirinya selama sepuluh tahun terakhir, tampaknya bertentangan dengan pernyataan tersebut.

Misalnya, Gerindra berulang kali menyatakan bahwa dalam upaya presiden untuk mereformasi subsidi BBM, dia telah menyesatkan dan memperdalam kemiskinan rakyat. Dalam batas tertentu, dukungan presiden terhadap Prabowo menunjukkan kesetiaannya terhadap tujuan pembangunannya untuk Indonesia, meskipun tidak ada yang dapat memastikan apakah itu untuk keuntungan pribadi.

Presiden dan Prabowo juga sering mengatakan bahwa keberlanjutan kebijakan adalah penting untuk kemajuan Indonesia. Selain itu, tim kampanye Prabowo-Gibran sering menggunakan narasi keberlanjutan untuk membedakannya dengan kampanye “perubahan” kandidat lain. Meskipun ada, pengkhianatan politik tidak banyak dibicarakan. MemungkinkanPublik sudah bosan dengan perdebatan politik yang sering berulang. Pada akhirnya, setiap kubu politik memiliki “sebelas-dua belas” strategi politiknya.

Selain itu, setiap partai politik di Indonesia menyatakan bahwa mereka akan mengikuti Pancasila dan prinsip-prinsip nasionalis-religius.

Semua partai memiliki ideologi yang sama, jadi tidak dapat dihindari bahwa ada berbagai perubahan sikap dan pilihan politik di atas. Para individu dan partai politik ini menyadari bahwa segalanya dapat berubah saat mereka menyetujui komitmen politik.

Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa sistem partai politik dan koalisi di Indonesia mirip dengan industri rental atau persewaan mobil (Samirin, 2013). Kepentingan pemilik “partai sewaan” ini pada dasarnya sama, dan mereka bersaing untuk menemukan berbagai “klien” individu untuk menjadi ikon mereka.

Sebaliknya, orang-orang seperti ini juga membutuhkan partai.atau koalisi sewaan untuk mencapai tujuan pembangunan mereka. Pada akhirnya, fenomena ini menunjukkan bahwa kesetiaan politik berbasis misi semakin meningkat.

Kesetiaan politik sekarang tidak lagi bergantung pada partai politik tertentu. Sepertinya fenomena ini yang mendorong banyak orang dan organisasi yang tidak setuju dengan Prabowo. Namun, ini pasti memiliki masalahnya. Pragmatisme politik adalah istilah tambahan untuk jenis kesetiaan politik ini. Di sisi lain, ini menyebabkan banyak ide dan kebijakan pembangunan untuk dibahas dan diputuskan berulang kali selama periode pemilihan umum.

Karena itu, konstelasi aktor dan kepentingannya tidak akan pernah stabil. Tantangan ini jelas menghambat berbagai upaya untuk kemajuan nasional yang berkelanjutan dan jangka panjang jika tidak dinavigasi atau dimitigasi dengan baik, alih-alih mendorong keberlanjutan kebijakan.

Loading

Silahkan Telusuri

Franz Magnis Suseno: Pemilu 2024 adalah yang Terburuk dalam Sejarah Indonesia

JAKARTA, BuletinKompas – Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Franz Magnis-Suseno menilai, Pemilihan Umum …