Pasang Iklan di Buletinkompas.com
perang-rusia-ukraina
perang-rusia-ukraina

Penilitian Mengatakan Kemenangan Russia Atas Ukraina Akan Naikan Harga 23%

Konflik antara Rusia dan Ukraina masih berlangsung. Terkait ini Senior Researcher ASIAN Scenarios, Asmiati Malik membeberkan skenario jika salah satu negara memenangkan perang.

Menurut Asmiati, jika Rusia memenangkan perang maka negara itu bakal menguasai Laut hitam dan Samudra Arktik. Wilayah tersebut merupakan jalur laut untuk mengekspor biji-bijian.

“Kalau Rusia memenangkan perang maka kemungkinan besar Rusia akan mengontrol Black Sea dan Arctic Sea. Ini akan ber-impact pada politik di Timur Eropa,” katanya dalam Diskusi Publik Ekonom Perempuan INDEF, disiarkan secara virtual, Kamis (28/12/2023).

Sebagai informasi, sebelumnya sudah ada perjanjian yang menjamin keamanan ekspor biji-bijian melalui jalur tersebut. Perjanjian itu membantu mengurangi lonjakan harga pangan global 23%.

Namun, jika Rusia tidak mau berpartisipasi lagi dalam perjanjian itu, ada kemungkinan harga pangan melonjak 23%. Adapun 23 juta biji-bijian diekspor melalui Laut Hitam, dengan rincian dikirim ke negara terbelakang 1%, negara berkembang 49%, dan negara maju 45%.


BACA JUGA : Presiden Jokowi Minta Menkominfo Selesaikan Tugas Di Papua Tahun Depan

“Di perairan Laut Hitam terjadi dengan Black Sea Deal yang sudah dibuat membantu reduce food prices lebih dari 23%. Jadi misalnya kalau dikontrol by one side, dan Rusia tidak mau berpartisipasi di sini, kemungkinan besar akan mendorong kenaikan harga pangan 23% ke depannya,” bebernya.

Ketika harga pangan naik maka sejumlah negara bakal mengalihkan belanja mereka dari sektor lain. Hal ini menyebabkan pelambatan ekonomi secara general.

Di sisi lain, jika Ukraina menang dalam perang maka bisa memicu konflik global. Menurut Asmiati tensi Nato dengan Rusia dan China bisa meningkat.

“Jika misalnya Ukraina menang tentu saja akan terjadi penguatan aliansi NATO. dan ini akan bereskalasi tensi antara Rusia dan China vs Nato,” imbuhnya.

Sementara itu Ekonom Senior INDEF, Aviliani menilai jarak satu krisis ke krisis lainnya semakin pendek. Dalam paparannya, krisis 2019 terjadi perang dagang antara Amerika Serikat dan China. 2020 krisis pandemi Covid-19, 2022 konflik Rusia-Ukraina, dan 2023 invasi Israel ke Gaza, Palestina.

“Krisis jaraknya makin lama makin pendek. Bahkan di 2024 diperkirakan masih akan ada krisis. Di 2023 masih akan ada krisis,” sebutnya.

Dalam hal ini ia meminta pemerintah harus cepat dalam membuat kebijakan. Jangan sampai kebijakan yang berbasis aturan diproses terlalu lama yang pada akhirnya akan menyebabkan kerugian.


BACA JUGA : Iring”an Jenazah Lukas Enembe Dilempari batu, Kapolres Terkena Lemparan

Loading

Silahkan Telusuri

Hari Kedua di Sulsel, Jokowi dan Iriana Cek Pasar Cekkeng Bulukumba

JAKARTA, BuletinKompas – Mengawali kegiatan kunjungan kerja hari kedua di Provinsi Sulawesi Selatan, Presiden Joko …