Pasang Iklan di Buletinkompas.com
Ketum-PBB-Yusril-Ihza-Mahendra
Ketum-PBB-Yusril-Ihza-Mahendra

Yusril Sebut Secara Teori Hukum Gibran Tak Langgar Norma Etik Hukum

Menurut pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto tidak melanggar norma etik hukum. Yusril menjelaskan perdebatan hukum yang beredar di masyarakat bahwa norma etik lebih penting daripada hukum.

Dia berpendapat bahwa pelanggaran norma perilaku atau kode perilaku berbeda dengan pelanggaran norma etik.

Seperti yang diketahui, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Putusan Usia Minimal Capres/Cawapres memberikan keuntungan bagi Gibran. Setelah keputusan itu, Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik.

Dalam teori dan filsafat hukum, keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam kasus Pak Anwar Usman berbeda dengan norma etik. Saat berpidato utama dalam webinar Konstitusionalitas Pilpres 2024, Yusril mengatakan, “Peraturan (MKMK) itu dibuat dari derivasi undang-undang, sebagaimana juga peraturan kode etik hakim MK. Karena itu, kedudukannya di bawah undang-undang jika dilihat dari hierarki hukum.”


BACA JUGA : TKN Nilai Gibran Sukses Gaet Pemilih Muda Usai Debat

Ditambahkannya, “Harus kita pahami betul (apa yang dilanggar Anwar Usman) adalah kode perilaku, norma perilaku, bukan norma mendasar di dalam filsafat hukum. Pengambil keputusan di dewan etik harus sadar bahwa apa yang mereka lakukan terbatas pada kode perilaku, bukan pada norma etik yang ada di teori hukum.”

Selain itu, Yusril menyatakan bahwa pelanggaran yang menjerat Anwar Usman tidak memiliki unsur pidana sama sekali. Oleh karena itu, argumen tentang Putusan MK Nomor 90 telah terbantahkan dengan sendirinya.

Yusril menyatakan, “Secara teori hukum, kita tahu jika terjadi pelanggaran hukum, pasti ada pelanggaran etik. Tapi jika terjadi pelanggaran etik dalam makna kode etik, belum tentu ada pelanggaran hukum. Jadi kasus Pak Anwar Usman dengan Pak Firli di KPK itu sangat berbeda. Karena di kasus Pak Anwar tidak ada tindakan hukum apapun, maka dewan etik harus bekerja dan memberikan sanksi etik.”

Sekali lagi, pelanggaran yang diputuskan MKMK terhadap Pak Anwar Usman jangan dianggap sebagai pelanggaran etik fundamental dalam filsafat hukum; sebaliknya, itu harus dilihat dalam konteks kode perilaku saat menjalankan posisi tertentu dalam organisasi. Dari segi hukum, keputusan MK adalah final dan mengikat, jadi tidak dapat dicabut karena pelanggaran etika.


BACA JUGA : Gibran Rencanakan Kampanye Ke Kupang Dan Labuan Bajo

Loading

Silahkan Telusuri

Franz Magnis Suseno: Pemilu 2024 adalah yang Terburuk dalam Sejarah Indonesia

JAKARTA, BuletinKompas – Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Franz Magnis-Suseno menilai, Pemilihan Umum …